Senin, 12 Januari 2009

MENANGIS TERTAWA DALAM SATU WAKTU

Judul Buku : Sang Pemimpi
Jenis : Novel
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Cetakan X, Nopember 2007
Tebal : 288 + ix halaman


”Sebaiknya novel ini juga dibaca anak-anak kita yang beranjak remaja.”
Itulah yang terbetik dalam benak saya setelah selesai membaca novel ini. Andrea menceritakan penemuan nilai diri dalam kebersamaannya dengan Arai (sang Simpai Keramat, julukan bagi orang terakhir yang tersisa dari suatu klan). Penuh dengan spirit. Penguasa perasaan. Itulah predikat yang tepat saya citrakan untuk Sang Pemimpi.
Dengan membacanya, seakan isi dada sang penulis begitu transparan. Kita bisa melihat sang penulis jauh ke dalam lubuk hatinya. Karena inilah otobiografinya yang dipaparkan dengan begitu populis dan menawan. Hingga kemudian di akhir perjalanan dan bacaan, kita bukan hanya mengagumi bagaimana novel ini dituliskan, isi dan gaya sastra yang mewarnainya, namun kita juga akan mengagumi sebuah perjalanan kehidupan yang begitu nyata.

Perjalanan hidup sang penulis. Potongan mozaik-mozaik kehidupan Andrea Hirata beserta semua mahluk di sekitar kehidupannya yang berperan dalam pembentukan jati dirinya. Seakan tidak ada yang terlewatkan dan dituliskan dengan penuh ketulusan penghargaan.

Kita tiba-tiba bisa tersenyum, terpekik, tertawa bahkan tergelak. Namun dengan seketika pula kita bisa terhanyut dalam kesedihan, kedukaan, kemeranaan, kepiluan dan tangis.

Perubahan perasaan (selama membaca) yang sedemikian drastis bukan hanya kita temukan dalam peralihan bab, namun juga akan kita dapati di peralihan alinea. Sungguh fantastis Andrea merangkai kisah berduanya dengan Simpai Keramat dengan menggunakan rangkaian kata. Saya menikmatinya sehati dengan penulisnya yang berkisah juga dengan hati. Luar biasa!


Pengalaman masa remajanya, kenakalannya yang didorong rasa ingin tahu dan solidaritas, prestasi, keterpurukan motivasi yang sempat menghancurkan prestasinya, ukiran impian yang memberi ruh kekuatan dan perjuangan untuk mencanangkan cita-cita, meski menurut akal sehat untuk mencapainya tampak sebagai suatu kemusykilan. Tapi, Andrea bersama saudara sepupunya (Arai) dan sahabatnya yang gagap dan obsesif kompulsif terhadap kuda (Jimbron) tengah berada dalam euforia Sorbonne yang memacu seluruh energi positifnya!

Inilah salah satu pelajaran hidup untuk pembaca. Refleksi diri terhadap realita hidupnya saat itu, dituliskannya:

Namun tak pernah kusadari sikap realistis sesungguhnya mengandung bahaya sebab ia memiliki hubungan linear dengan perasaan pesimis. Realistis tak lain adalah pedal rem yang sering menghambat harapan orang.


Di bagian lain, Andrea menuliskan bagaimana efek tegas dari sikap realistis yang pada akhirnya berpengaruh dalam salah satu penggalan kehidupannya:

Seyogyanya sikap buruk yang berbuah keburukan: pesimistis menimbulkan sinis, lalu iri, lalu dengki, lalu mungkin fitnah. Dan dengarlah ini, Kawan, akibat nyata sikap buruk itu:

”Tujuh puluh lima!! Sekali lagi 75!! Itulah nomor kursi ayahmu sekarang....”

Peringkat 75 setelah peringkat 3........!

Dalam buku ini, cita-citanya makin tergambar jelas. Fondasinya terbangun sejak ia duduk di SD Muhammadiyah, sebagaimana yang dikisahkan dalam Laskar Pelangi. Perjalanannya merantau ke Pulau Jawa dan terdamparnya dirinya dan Arai di Bogor merupakan kelanjutan dari sikap mandiri dan harapannya untuk mewujudkan impiannya.

Di akhir kisah, Andrea menggoreskan rasa kagum setelah ia capai kesarjanaannya dengan segala perjuangannya, serta menitipkan rasa ingin tahunya kepada pembaca akan nasibnya kelak di Universite de Paris, Sorbonne setelah ia dan Arai dinyatakan berhasil mendapatkan beasiswa Uni Eropa untuk study of science.


**************

Cimohai, Rabu 16/07/2008 12:45:49

Saya yakin (tentu seyakin Anda pula) akan menemukan rangkaian makna tetralogi ini setelah membaca keempat bukunya. Saya menunggu selesainya saya baca buku kedua dan ketiga, serta launching buku keempat (Maryamah Karpov) yang rencananya akan di”launching” pada bulan September 2008 yang akan datang. Kita tunggu saja bersama! Pasti sangat menarik dan luar biasa!!!!!

Jumat (11-7-2008) pagi, saya excited dengan Zaki, ketika dia menceritakan bahwa gurunya mengapresiasi novel Laskar Pelangi sehingga membuatnya berkeinginan untuk membaca (bacaan semacam ini masih cukup terbatas ketersediaannya di kota seperti Tulungagung). Saya spontan juga mengapresiasi dua novel rangkainnya: Sang Pemimpi dan Edensor. Zaki sangat antusias. Bahkan ketika saya tanya, apakah dia mau membacanya. Dia katakan,”Mau, mi.” Alhamdulillaaaahirabbil ‘aalamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar