Senin, 12 Januari 2009

BERKELANA DI 42 NEGARA BERBEKAL KEBERANIAN

Judul Buku : Edensor
Jenis : Novel
Penulis : Andrea Hirata
Penerbit : PT. Bentang Pustaka, Yogyakarta
Cetakan : Cetakan XIII, April 2008
Tebal : 294 + xiv halaman

Terlalu terpaku pada judul buku ini, saya berharap Andrea akan menuliskan banyak kisah yang melekatkan ingatannya selalu pada A Ling kisah-kisah di desa Edensor. Edensor telah menjadi citra yang melekatkannya pada cinta pertama dan sekaligus cinta terindahnya sampai saat novel ini ditulis. Saya kecewa. Tapi sekaligus saya menemukan sebuah journey yang sangat luar biasa dari spirit impian-impian. Tapi itulah yang diinginkan penulis. Andrea tak ingin mengulang apa yang telah dilukiskan tentang Edensor di Seandainya Mereka Bisa Bicara karya Herriot.

Buku ini ibarat folder yang diprotect sehingga merangsang rasa ingin tahu pembaca. Ibarat membuka sebuah situs dengan banyak opsi, dimana beberapa halamannya masih kosong, menunggu sang penulis untuk menggoreskan rinciannya lebih lanjut. Seperti halnya ia dan Arai menghabiskan liburan musim panas dengan melakukan perjalanan sebagai bagpacker sepanjang Eropa dan Afrika, pasti akan terurai kisah yang luar biasa seru. Namun Andrea hanya memaparkan beberapa hal yang dianggap “pantas” menghubungkan buku ketiganya ini dengan konsep tetralogi Laskar Pelangi.


Beberapa keajaiban yang terjadi selama perjalanan di 42 negara telah menunjukkan hal itu dengan memberikan beberapa jawaban dari ungkapan kalimat-kalimat yang mengundang penasaran di buku keduanya, Sang Pemimpi. Kutukan “ikan duyung” dari Capo Lam Nyet Pho yang menjadi kenyataan, bahkan menjadi solusi yang menghantarkannya mewujudkan impian mengeliling Eropa dan Afrika, pertemuannya dengan tokoh mujahidin Baloch Afganistan ¾ Oruzgan Mourad Karzani, peristiwa memalukan sebagai teguran Tuhan kepada Arai akibat keisengan masa kecilnya dulu.


Dalam karyanya ini, Andrea lebih banyak melakukan refleksi kehidupannya yang menggariskan dirinya sebagai individu, sebagai anak bangsa dan sebagai seorang muslim. Seperti yang dituliskan di halaman 207:


Ajaib, secara fisik seharusnya aku telah runtuh. Namun dalam diriku memantik bara yang membesar hari demi hari. Semakin kejam Rusia menindasku, semakin keras inginku menaklukannya. Rusia telah membuatku menemukan intisari diriku. Rusia adalah potongan terbesar mozaik hidupku, yang membuka ruang dalam hatiku untuk memahami arti zenit dan nadir hidupku, seperti pesan Weh dulu.


Di bagian lain (halaman 229) Andrea kembali menegaskan:

Berkelana tidak hanya telah membawaku ke tempat-tempat spektakuler sehingga aku terpaku, tak pula hanya memberiku tantangan ganas yang menghadapkanku pada keputusan hitam putih, sehingga aku memahami manusia seperti apa aku ini. Pengembaraan ternyata memiliki paru-parunya sendiri, yang dipompa oleh kemampuan menghitung setiap resiko, berpikir tiga langkah ke depan sebelum langkah pertama diambil, integritas yang tak dapat ditawar-tawar dalam keadaan apapun, toleransi dan daya tahan. Semua itu lebih dari cukup untuk mengubah mentalitas manusia yang paling bebal sekalipun. Para sufi dan mahasiswa filsafat barangkali melihatnya sebagai hikmah komunikasi transendental dengan Sang Maha Pencipta melalui pencarian diri sendiri dengan menerobos sekat-sekat agama dan budaya. Aku dan Arai menyebutnya sebagai: akibatnya kalau berani-berani bepergian sebagai pengamen!

Luar biasa bukan???!! Elegan dalam kesederhanaannya!

Bagaimana pula ia menemukan tiga paradoksial selama hidup di negeri orang yang meneguhkan dirinya sebagai individu berbangsa Indonesia. Demikian juga ia mencatat dalam aliran darah tubuhnya,”Tak selembar pun daun jatuh tanpa sepengetahuan Allah.” Selama hidup di rantau orang, yang dipertegas dengan perjalanan musim panasnya, dirinya dan Arai terus berjalan dengan jalan dien al Islam, ditengah lingkungan dan budaya dimana Islam begitu asing, dimana menemukan masjid (sebagaimana pesan ayah mereka) bukanlah hal mudah sebagaimana di kampung halamannya dan Indonesia.
Di akhir, Andrea ingin kita mencicipi satu rasa termanis, dan kemudian ia tak membiarkan kita menikmatinya sampai puas dan habis, di perjalanan akhir studinya, perjalanan akhir di rantau orang, di tengah sebuah segmen kejenuhan penantian, dalam perjalanan dengan menggunakan bus yang meliuk-liuk ke pelosok desa yang tak dikenalnya, sampailah ia pada obat kepiluan cinta pertamanya: “Sure lof, it’s Edensor....”





**************

Cimohai, Rabu 16/07/2008 14:50:39

Saya yakin (tentu seyakin Anda pula) akan menemukan rangkaian makna tetralogi ini setelah membaca keempat bukunya. Saya menunggu selesainya saya baca buku kedua dan ketiga, serta launching buku keempat (Maryamah Karpov) yang rencananya akan di”launching” pada bulan September 2008 yang akan datang. Kita tunggu saja bersama! Pasti sangat menarik dan luar biasa!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar