Kamis, 12 Maret 2009

PEREMPUAN ULAMA, POLITISI DAN PEJUANG

JUDUL : ULAMA PEREMPUAN INDONESIA (antologi)

EDITOR : JAJAT BURHANUDIN

PENERBIT : PT GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA

CETAKAN : Pertama, 2002

HALAMAN : 371 + xxxviii

Keluarga merupakan kawah candradimuka yang pertama dan penting. Dari keluarga lah, blue print seorang manusia dicipta. Jika orang tua memiliki pemahaman yang benar tetang konsep pendidikan, perjuangan dan kehidupan, maka mereka akan berpikir, bersikap dan bertindak bijak terhadap anggota keluarga mereka, anak-anak mereka secara adil dan setara, apakah mereka laki-laki atau perempuan. Itulah yang diilustrasikan dalam sejarah para perempuan ulama, pejuang dan politisi dalam buku ini.

Buku ini memberikan potret yang cukup kuat, begitu kentalnya pengaruh peranan keluarga di tengah budaya yang menomorduakan perempuan, bahkan dalam pendidikan. Terlebih lagi pendidikan yang menanamkan nilai keimanan (agama atau religiusitas) sehingga memberikan pengaruh pada penajaman akal dan hati nurani perempuan-perempuan muda ini. Pendidikan dan bukan sekedar membuka cakrawala pemahaman, namun juga pemahaman yang meletupkan semangat untuk terus menjadi lebih baik (bukan hanya dirinya, namun juga orang lain, serta memberikan manfaat yang sebesa-besarnya pada lingkungannya) menjadi daya dorong yang luar biasa dalam perjuangan mereka di tengah pertentangan yang masih kuat.

Buku ini mendiskripsikan dengan sangat inspiratif, bagaimana pandangan, sikap, dan aktivitas ke 13 perempuan Indonesia yang dinobatkan sebagai ulama bukan hanya dalam ranah keulamaan namun juga politik, kekuasaan, birokrasi dan sosiobudaya yang masih kental dengan feodalistik (budaya yang terpapar dengan kental di dunia birokrasi Indonesia) dan patriarkhi.

Bagaimana mereka menerjemahkan kedudukan perempuan dan pentingnya kesetaraan perempuan dan laki-laki membuahkan hasil, meski masih dalam ruang lingkup lokal dan terbatas. Tapi kita bisa menyimpulkan bahwa langkah-langkah perjuangan mereka memberikan pengaruh politis yang sangat luas.

Bagi mereka, dunia politik merupakan manifestasi dan terikat pada kekuatan iman. Pendidikan merupakan gerbang bagi perempuan untuk bisa memberikan peran politiknya sebagai warga negeri ini. Ini bisa kita lihat dari pandangan dan sikap Rahmah el-Yunusiah, Nyai Ahmad Dahlan, HR Rasuna Said yang sikap politiknya sangat tegas dan dipengaruhi oleh nilai-nilai iman.

Menurut Rahmah, politik untuk murid adalah kecintaan mereka pada tanah air didasari iman yang kuat. Kalau iman tidak ada, politik dapat menjadi bumerang, yang akan menentang dan menghancurkan agama. [halaman 21]

Pandangan ini untuk menunjukkan sikap dan prinsip independensi dari afiliasi lembaga politik manapun demi kelangsungan lembaga pendidikan yang didirikan dan dibinanya untuk tujuan yang lebih luas dan panjang. Namun ketika ia berhadapan dengan politik-kolonialisme pemerintah Belanda, Rahmah memilih sikap nonkooperatif. Ia menolak bekerjasama dengan Belanda termasuk dalam hal pemberian subsidi yang berulangkali ditawarkan.

Sikap teguhnya ini juga ditunjukkan ketika ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Masyumi untuk Daerah Pemilihan Sumatera Tengah (Pemilu 1955). Ia hanya menduduki posisi ini hingga tahun 1958, karena ia memilih sikap menentang politik pemerintahan Soekarno yang telah banyak dipengaruhi PKI. [halaman 27]

Ahmad Dahlan dan istrinya tidak mengambil sikap menentang secara terang-terangan pemerintah kolonial, sebab banyak yang diharapkan dan dipelajari, serta bahkan diambil manfaatnya dari mereka. [halaman 58]

Namun Nyai Dahlan sangat melarang keras murid-murid sekolah Muhammadiyah untuk mengikuti keinginan Pemerintah Jepang yang terakhir ini (ket: untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang). Melihat sikap yang diambil Nyai Dahlan, tentara Jepang mendatanginya, tetapi Nyai Dahlan sendiri tidak mau menemuinya. [halaman 60]

Rasuna Said berpandangan bahwa pentingnya kesadaran politik bagi pelajar (ket: dimasa perjuangan menentang kolonial), sehingga mereka mengambil bagian di dalamnya.

Bagi Rasuna, sedalam apapun ilmu seseorang, bila ia tidak tahu-menahu politik, tidak punya wawasan kebangsaan, tidak akan pernah tumbuh di jiwanya kesadaran untuk berjuang. Justru ilmu orang-orang semacam ini terkadang sangat berbahaya, karena dapat dimanfaatkan oleh Belanda untuk menindas rakyat. [halaman 72]

Demikian juga Aisyah Aminy yang menegaskan diri bahwa jalur politik sebagai basis perjuangannya.

Penerimaan Aisyah terhadap realitas politik Indonesia ini sejalan dengan garis pemikiran Islamnya yang dipengaruhi pemikiran Islam modern……… Oleh karena itu, Aisyah memperlihatkan sikap fleksipbel terhadap realitas politik Indonesia. [halaman 235]

Aisyah juga mengusulkan agar partisipasi waniita dalam dunia politik ditingkatkan melalui beberapa upaya yang dilakukan secara bertahap, sistematis dan sinergis. Dalam pandangannya sebagaimana yang terdiskripsi dalam buku ini, bahwa kesetaraan perempuan dan laki-laki adalah hal yang sangat mungkin terjadi. Menurutnya, tradisi Islam menyebutkan bahwa kesetaraan bisa diperoleh, tetapi keidentikan tidak. Sehingga laki-laki dan perempuan harus saling mengisi dalam organisasi multifungsi ketimbang saling bersaing dalam masyarakat yang berfungsi tunggal. [halaman 241]

Secara prinsip, mereka menentang subordinasi yang menyebabkan hak dasar perempuan sebagai manusia terampas. Namun semakin kita mempelajarinya, semakin kita memahami betapa strategis dan cantiknya pemikiran dan tahapan yang mereka tunjukkan dalam perjuangan yang penuh dengan tantangan baik secara budaya, religi maupun sistem yang menempatkan wanita sebagai warga negara. Karena pada akhirnya, proses penyadaran yang mereka lakukan terhadap keadilan dan kesetaraan itu bukan hanya membuka pemahaman kaum perempuan namun juga kaum laki-laki di jamannya.

Sayangnya, catatan bahkan kitab sejarah semacam ini teramat jarang disentuh, dibaca, dikaji baik oleh laki-laki maupun perempuan, sehingga perempuan di masa berikutnya atau di wilayah yang berbeda harus berjuang kembali dari awal. Akibatnya, stigma baru muncul dalam persoalan gender, bahwa perempuan paling “gemar” dan sehingga “selalu” menjadi bahan perbincangan yang tak akan pernah habis yang tak jarang justru menempatkan perempuan pada kutub yang berlawanan dengan laki-laki. Tulisan dalam buku ini jelas menunjukkan pemikiran yang bertentang dengan stigma tersebut.

Buku ini juga telah menjadi perpanjangan pesan para perempuan ulama, pemikir dan pejuang, bagaimana para mereka menerjemahkan prinsip Islam dalam menempatkan hak perempuan dalam keadilan dan kesetaraan dengan kaum laki-laki yang pada akhirnya adalah untuk mengemban beban kewajiban yang sama sebagai abdillah dan khalifatullah fil ardh…………

Tidak ada komentar:

Posting Komentar